Ivermectinh – Bayangin kamu berdiri di depan gunung super tinggi, tertutup salju, dan punya reputasi mematikan. Inilah Nanga Parbat, salah satu gunung tertinggi di dunia yang dijuluki “Killer Mountain”. Bukan tanpa alasan, banyak banget pendaki yang kehilangan nyawa saat mencoba menaklukkannya. Tapi anehnya, justru makin banyak orang yang pengen coba naik ke puncaknya.
Nanga Parbat bukan cuma tinggi, tapi juga ekstrem dari segala sisi. Bayangin aja, suhu di sana bisa turun sampai minus puluhan derajat, angin super kencang, dan jalur pendakiannya penuh tebing curam serta salju tebal. Belum lagi risiko longsoran es atau batu yang bisa datang tiba-tiba. Pendaki yang naik ke sana harus punya fisik kuat, mental baja, dan pengalaman yang nggak main-main. Bahkan buat pendaki profesional, Nanga Parbat tetap jadi tantangan berat. Tapi justru karena itulah gunung ini jadi impian banyak orang—kayak uji nyali tertinggi yang bisa ngebuktiin seberapa kuat dan beraninya mereka. Emang segitunya menantang? Emang separah itu bahayanya? Yuk, kita bahas bareng-bareng.
Kenalan Dulu: Apa Itu Nanga Parbat?
Nanga Parbat adalah gunung yang berdiri gagah di Pakistan, tepatnya di bagian barat Himalaya. Tingginya mencapai 8.126 meter di atas permukaan laut, menjadikannya gunung tertinggi ke-9 di dunia. Nama “Nanga Parbat” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “gunung telanjang”, karena puncaknya terlihat mencolok dan tanpa banyak vegetasi.
Gunung ini punya dua sisi utama yang terkenal di dunia pendakian: sisi Rupal yang curam banget dan sisi Diamir yang lebih populer. Tapi dua-duanya sama-sama gila tantangannya. Cuaca di sini bisa berubah drastis dalam hitungan jam, dan jalurnya banyak yang curam serta berbahaya.
Tapi yang paling bikin ngeri dari Nanga Parbat adalah Dinding Rupal—tebing vertikal setinggi lebih dari 4.500 meter yang jadi salah satu dinding gunung tertinggi di dunia. Buat pendaki, dinding ini kayak mimpi buruk yang nyata. Nggak cuma harus mendaki vertikal, mereka juga harus tahan dengan suhu ekstrem, badai salju mendadak, dan oksigen tipis. Nggak heran kalau gunung ini sering disebut “Killer Mountain”. Bahkan sebelum berhasil ditaklukkan pertama kali tahun 1953, puluhan pendaki sudah lebih dulu kehilangan nyawa. Gunung ini memang nggak main-main, dan cuma mereka yang benar-benar siap mental dan fisik yang bisa bertahan.
Dari Mana Asal Julukan ‘Gunung Pembunuh’?
Julukan “Killer Mountain” bukan cuma buat menakut-nakuti. Sejarah panjang gunung ini emang kelam banget, terutama di awal-awal ekspedisi pendakian. Tahun 1930-an, banyak pendaki dari Jerman yang tertarik menaklukkan Nanga Parbat karena dianggap sebagai simbol kebanggaan nasional. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka yang justru tewas.
Salah satu tragedi paling terkenal terjadi tahun 1934. Sebuah ekspedisi Jerman yang dipimpin Willy Merkl gagal total karena badai besar, dan 10 pendaki serta porter lokal meninggal dunia. Sejak saat itulah, Nanga Parbat mulai dikenal sebagai gunung pembunuh.
Sampai akhir 1950-an, puluhan nyawa sudah hilang di gunung ini sebelum akhirnya ada yang berhasil sampai puncak. Rasio kematian di Nanga Parbat sempat jadi salah satu yang tertinggi di antara gunung-gunung 8000-an meter.
Dinding Rupal: Tantangan Tertinggi
Salah satu sisi paling serem dari Nanga Parbat adalah Dinding Rupal. Bayangin dinding batu dan es setinggi 4.600 meter—ini disebut-sebut sebagai dinding vertikal tertinggi di dunia! Bahkan pendaki profesional aja bilang, jalur ini seperti neraka di dunia nyata.
Naik lewat Dinding Rupal nggak cuma butuh stamina, tapi juga strategi, pengalaman ekstrem, dan keberuntungan. Salah langkah sedikit bisa langsung terjatuh ratusan meter. Bahkan Reinhold Messner, pendaki legendaris, bilang kalau Dinding Rupal itu salah satu tantangan paling brutal yang pernah dia hadapi.
Makanya, gak semua pendaki berani coba jalur ini. Cuma mereka yang benar-benar siap mental dan fisik yang bisa coba.
Kisah-Kisah Tragis di Nanga Parbat
Nanga Parbat bukan cuma menantang fisik, tapi juga menyimpan banyak cerita duka. Salah satu kisah paling menyedihkan datang dari Reinhold Messner, pendaki asal Italia. Dia adalah orang pertama yang berhasil menyeberangi Nanga Parbat dari sisi Rupal ke sisi Diamir secara solo. Tapi di ekspedisi itu, dia harus kehilangan adik kandungnya, Günther Messner, yang ikut mendaki bersamanya.
Menurut cerita Reinhold, mereka terjebak badai dan kehabisan waktu. Reinhold harus turun lewat sisi lain gunung, sementara Günther tertinggal dan akhirnya tewas tertimbun longsoran es. Sampai bertahun-tahun setelahnya, kisah ini masih jadi perdebatan dan penuh drama.
Selain itu, masih banyak ekspedisi lain yang berakhir tragis karena badai salju, suhu ekstrem, dan longsoran. Bahkan teknologi modern pun belum tentu bisa menjamin keselamatan pendaki di sini.
Kemenangan dan Legenda yang Lahir
Meski banyak yang gagal, tetap ada juga yang berhasil bikin sejarah di Nanga Parbat. Salah satunya tentu saja Reinhold Messner yang akhirnya dikenal sebagai pendaki hebat dunia. Dia nggak cuma sukses menyeberangi gunung ini sendirian, tapi juga jadi orang pertama yang menaklukkan semua gunung 8000-an meter tanpa bantuan oksigen tambahan!
Selain itu, Nanga Parbat juga berhasil didaki di musim dingin untuk pertama kalinya pada tahun 2016 oleh tim gabungan dari Polandia dan Italia. Ini adalah pencapaian besar karena mendaki gunung sekelas Nanga Parbat saat musim dingin jelas gila banget—suhu bisa mencapai minus 40 derajat Celcius!
Para pendaki yang sukses menaklukkan Nanga Parbat jadi semacam legenda hidup. Mereka dianggap punya keberanian dan daya juang luar biasa.
Penutup: Kenapa Orang Masih Nekat Mendaki?
Pertanyaannya sekarang: kenapa masih ada aja orang yang nekat mendaki Nanga Parbat? Padahal jelas-jelas bahayanya besar dan nyawa bisa jadi taruhan.
Jawabannya mungkin sederhana: rasa penasaran dan tantangan. Buat pendaki ekstrem, gunung seperti Nanga Parbat itu ibarat “bos terakhir” dalam game. Menaklukkan puncak ini dianggap sebagai puncak karier. Mereka tahu risikonya, tapi tetap ingin mencoba, karena rasa puas saat berhasil sampai puncak itu katanya gak bisa diganti dengan apa pun.
Jadi, Nanga Parbat bukan cuma gunung biasa. Ia adalah simbol tantangan, keberanian, dan tragedi. Julukan “Gunung Pembunuh” mungkin terdengar menyeramkan, tapi juga membuatnya semakin legendaris. Dan meski kita mungkin gak bakal mendakinya, cerita-cerita dari sana bisa jadi pelajaran soal keberanian, kehilangan, dan mimpi besar yang kadang dibayar mahal.